Senin, 29 November 2010

REFERENSI


Berkhof, L., & Van Till, C. (2004). Foundation of Christian education. Surabaya: Momentum.
Brummelen, V. (2009). Walking with God in the classroom. Tangerang: Universitas Pelita Harapan Press.

Kajian Analisis Konsep Pemikiran John Dewey (2009, 11 Desember). Diambil November 27, 2010, dari http://penielmaiaweng.blogspot.com/2009/12/kajian-analisis-konsep-pemikiran-john.html?zx=1938a222bcca2b98

Warren, R. (2002). The Purpose of Driven Life. Jawa Timur: gandum Mas.

Berkhof, Louis. 1994. Teologi Sistematika. Doktrin Manusia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Matakupan, T.J., & Kristano, J. 2005 Antropologi dan Hamartologi. Doktrin Manusia dan Dosa. Surabaya: Momentum
Paulinus A.S. Kalkoy, P.A.S. 2010. Pragmatisme John Dewey. Retrieved on November 26, 2010 from http://leonardoansis.wordpress.com

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY MENGENAI TUJUAN HIDUP

Banyak sekali teori-teori yang telah dikemukakan oleh john dewey selama hidupnya. Beranjak dari pengalaman hidup yang tergolong cukup susah untuk sampai pada titik dimana ia berada sebagai seseorang yang tidak lagi dipandang rendah oleh dunia. Selain teori-teori tersebut dengan salah satunya yang cukup terkenal adalah mengenai teoru pendidikan, bagaimanakah seorang john dewey dapat menyikapi permasalahan hidup dan kerumitan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya secara pribadi? Yang kemudian berelasi juga pastinya dengan masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Dewey sangat tertarik pada filsafat pragmatisme, dalam hal ini dewey belajara dari Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan yang pada akhirnya dipopulerkan oleh William James (1842-1910). Konsep prangmatisme menekankan bahwa, “… makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan,” dengan mengacu pada instrumentalis (hidup tidak memiliki tujuan akhir, tetapi tujuan antara dan sementara) dan eksperimentalis (perlunya metode eksperimen dan pengalaman dalam menentukan kebenaran). Sebagai contoh, sesuatu hal atau benda misalnya saja pulpen, makna dari pulpen itu sendiri alat tulis dimana ia dapat dipakai untuk menulis, dalam hal ini dipakai merupakan sesuatu yang dapat dilakukan oleh si pulpen entah itu menggunakan bantuan ataupun tidak dari sesuatu diluar benda yang bersangkutan. Untuk itu, setiap individu bertanggung jawab untuk terlibat dalam tugas yang berkesinambungan dalam membangun kembali dunianya.
Penjelasan mengenai hal diatas menjadi sebuah pemahaman yang tergambar jelas dalam konsep yang Dewey miliki selama ini. Menurutnya, “Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara kritis-aktif. Sebab pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman.” Misalnya saja, suatu ketika saya bertemu seorang teman dalam perjalanan pulang kerumah, teman tersebut menceritakan bahwa ia baru saja menikmati sebuah hidangan ice cream di salah satu café bersama beberapa orang temannya yang lain, dan menceritakan gambaran yang sangat jelas mengenai betapa enak dan lezatnya ice cream tersebut dan pada penutup ia tak lupa menyarankan saya untuk juga pergi berkunjung dan menikmati ice cream tersebut. Nah, untuk membuktikan bahwa menurut saya apa yang diceritakan adalah benar makan pada suatu kesempatan saya pergi ke café tersebut dan menikmati ice cream yang diceritakan kepada saya, maka saya akan “memanggil” pengalaman pertama saya “menikmati” ice cream melalui penggambaran yang teman saya lakukan untuk membuat perbadingan pada pengalaman saya secara nyata kali ini. Kemudian saya kan memberikan kesimpulan bahwa ice cream itu benar-benar persis seperti yang teman saya ceritakan ataukah sebaliknya. Maka sejak saat itu saya akan terus mempunyai pemikiran yang sama sesuai dengan kesimpulan yang saya tarik pada saat itu. Nah, mungkin ilustrasi diatas dapat memberikan penjelasan sederhana bagaimana john dewey memandang bahwa pemikiran kita bergerak dari pengalaman bergerak untuk kembali menuju pengalaman.
Dengan demikian, pengalaman dan metode menjadi penekanan khusus bagi Dewey sebagai dua unsur yang berperan penting dalam pembentukan manusia untuk menemukan kebenaran dan mengalami pertumbuhan. Pengalaman menjadi unsur tertinggi dalam kehidupan manusia untuk menentukan kebenaran sedangkan metode digunakan untuk mencapai kebenaran yang terdapat dalam pengalaman itu sendiri. Pengalaman sendiri merupakan hal yang tidak mutlak dan dapat berubah, maka kebenaran pun tidak mutlak dan dapat berubah. Inilah yang menyebabkan dewey berpikir bahwa hidup bukanlah tujuan akhir, tetapi tujuan sementara, karena pengalaman yang dialami seseorang dalam hidupnya adalah tidak tetap, tidak mutlak, dan dapat berubah dimanapun dan kapanpun seiring berjalannya waktu.


            Berdasarkan pernyataan john dewey menegnai kebenaran dan apa yang ia percaya menganai asal dari benerana itu, kita dapat melihat bahwa kebenaran itu bersifat relative. Dalam artian bahwa kebenaran itu ada dalam pandangan masing-masing individu dan tidak dapat dibantah sebab hal itu berlaku mutlak bagi setiap oran g yang percaya akan kebenaran yang dia peroleh dari pengalama itu sendiri. Sebagai conth, ketika saya mencoba ice cream dan menarik kesimpulan bhw ice cream yang saya makan memang benar adalah hidangan ice cream yang enak maka kebenaran bahwa ice cream itu enak dalam pandangan saya adalah mutlak benar. Tetapi hal itu dapat terjadi kebalikan bagi orang lain yang tidak menyukai ice cream. Tetapi keduanya merupakan kebenaran bagi masing-masing.
Dalam hal ini jelas bertentangan dengan apa yang kita sebagai orang kristen percayai. Seperti yang ditulis didalam Yohanes 17: 17 “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” Berdasarkan bunyi firman tersebut, terbukti dengan jelas bahwa ada kebenaran yang sejati bukan hanya kebenaran relatives yang berdasarkan pengalaman pribadi, dan kebenaran sejati itu adalah Firman Allah, inilah yang kita sebut sebagai kebenaran mutlak. Semua yang ada dibumi ini yang bertentangan dengan Firman Allah, bukanlah sebuah sebuah kebenaran, semua kebenaran harus berdasarkan Firman Allah. Jadi, dalam menentukan kebenaran tidak dapat bersumber dari eksperimen kita saja, namun dari apa yang kita percayai yang sudah tertulis di dalam Firman Allah, inilah yang namanya kebenaran.
Selain itu, John Dewey juga menyinggung tentang tujuan hidup manusia berdasarkan apa yang ia percayai yaitu manusia tidak mempunyai tujuan akhir tetapi tujuan yang bersifat antara dan sementara. Padahal tujuan akhir dari hidup orang percaya sudah pasti dan bersifat kekal, yaitu untuk hidup untuk Allah. Tujuan hidup ini bukan hanya saat manusia berada di bumi saja, namun setelah kehidupan di bumi inipun tujuan semua anak-anak-Nya tetap hidup untuk Allah seperti yang tertulis dalam Kolose 1:16 “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” Dari ayat ini telah jelas bahwa Allah menciptakan semua ciptaan-Nya (semua yang ada di dunia ini) untuk Dia. Tujuan hidup ini lebih besar dari pada sekadar
            Jadi, kita telah melihat ada beberapa pandangan dari john dewey yang cukup keliru jika dipandang dari sudut pandang Kristen. Walaupun teori-teori dari John Dewey banyak dipakai dalam biddang pendidikan, namun kita harus bisa berpegang teguh pada kebenaran yang sejati, yaitu Firman Allah.



Minggu, 28 November 2010

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY MENGENAI THEORY OF KNOWLEDGE

Filsafat yang dianut oleh John dewey mengajarkan bahwa kehidupan manusia berkembang melalui proses yang telah dilalui oleh manusia. Proses tersebut dimulai dari tingkat terendah dan akan berkembang maju. Kehidupan tidak bersifat tetap melainkan terus berkembang. Bahkan menurutnya dunia ini belum selesai diciptakan, segala sesuatu masih terus berkembang, seperti ilmu pengetahuan yang terus berkembang dari hari ke hari, setiap teori yang muncul akan menggantikan teori yang sebelumnya, demikian seterusnya segala sesuatu akan terus berkembang dan tidak ada batasnya.
  Pengalaman merupakan kunci dari filsafat yang diajarkan oleh John Dewey. Menurut Dewey pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang saling mempengaruhi antar mahkluk hidup secara fisik maupun sosial. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berpangkal pada pengalaman-pengalaman yang telah mereka alami. Untuk menyusun pengalaman-pengalaman tersebut, maka diperlukan pendidikan yang dapat membantu untuk mengarahkan dan membimbing dari pengalaman yang tidak menentu menjadi terarah. Jadi menurutnya pengetahuan yang bersifat metafisik tidaklah bermanfaat.  Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman dan menyelidiki serta mengelola pengalaman tersebut secara aktif dan kritis.
Mengenai konsep demokrasi di dalam dunia pendidikan, Dewey berpendapat bahwa setiap siswa harus diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Siswa tidak hanya menerima apa yang diberikan oleh guru saja, akan tetapi mereka juga belajar untuk mencari pengetahuan tersebut berdasarkan pengalaman mereka. Oleh karena itu guru juga harus  memberikan suasana kelas yang membuat siswa untuk dapat berpikir kritis dan mampu mengarahkan setiap pengalaman yang dimiliki oleh individu. Dengan demikian tercapailah apa yang dimaksud John Dewey tentang arti pendidikan yaitu pembentukan ulang pengalaman yang menambah maknanya dan yang menambah kemampuan si pelajar dalam memberi arah terhadap pengalaman yang selanjutnya. Dewey sangat menganggap penting pendidikan, karena ia percaya bahwa melalui pendidikan akan tercipta masyarakat yang bersifat demokrasi yang mampu menghargai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap individu.
Dalam hal tujuannya, pendidikan harus didasarkan pada lingkungan masyarakat di mana anak didik hidup dan tempat di mana pendidikan berlangsung. Tujuan yang ditetapkan haruslah khusus, tidak berlaku secara universal, dan temporer, karena tidak ada kebenaran dan nilai yang mutlak dan berlaku secara universal. Tujuan pendidikan adalah sebagai instrumen untuk bertindak, yang hasilnya akan menjadi instrument untuk pencapaian tujuan berikutnya dan dijadikan sebagai alat untuk bertumbuh.
John Dewey memiliki dua tujuan penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan pendidikan. Pertama, upaya untuk membedakan hasil-hasil (results) dan tahap akhir (end). Tahap akhir adalah hasil dari langkah-langkah yang berkesinambungan dan teratur yang diambil secara cerdas, bukan dari kegiatan yang dilaksanakan pada tahap awal. Kedua, terdapat tiga langkah untuk mencapai tujuan dalam pendidikan, yaitu: 1) mengidentifikasi faktor-faktor penghalang bagi para pelajar yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan, dan bersamaan dengan itu, harus diperhatikan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud; 2) merumuskan urutan pemanfaatan sarana yang ada; 3) mempertimbangkan kegunaan dari semua sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Dalam dunia pendidikan saat ini, konsep pemikiran tentang John Dewey masih memiliki pengaruh yang besar. Konsep Active-learner adalah konsep yang dimunculkan oleh Dewey yang menunjukkan bahwa setiap anak didik memiliki kemampuan untuk bertumbuh dengan memberdayakan seluruh potensi yang mereka mereka miliki melalui pendidikan yang mereka dijalani.
Di Indonesia, konsep active-learner dikenal dengan pendidikan partisipatif, yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses pendidikan. Dengan pola ini, siswa dipacu untuk terlibat secara aktif untuk dapat mengembangkan seluruh sumber daya yang dimiliknya. Siswa tidak hanya diam, mendengar, dan mencontoh guru, sedangkan guru haruslah menjadi fasilitator dan memotivasi siswa untuk berdialog dan berekspresi.
Kritik terhadap pandangan pendidikan John Dewey  menurut sudut pandang Kristiani.
            Dikatakan bahwa filsafat pragmatisme memiliki pandangan evolusioner, yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini masih dalam proses perkembangan. Pragmatisme mengganggap bahwa tidak ada sesuatu apapun yang benar-benar absolute, semuanya relatif. Tetapi jika kita lihat dari sudut pandang iman Kristen, maka pendapat tersebut tidak sesuai, karena dengan jelas di kitab Kejadian, menjelaskan tentang penciptaan dunia dari hari pertama sampai hari ke enam, dan semuanya itu telah selesai diciptakan oleh Allah (Kej. 1: 1-31). Bagi Dewey pengalaman merupakan kunci dari pengetahuan. Pengetahuan yang ada di dunia ini terlalu sempit jika Allah ada di belakangnnya, jadi pemikiran ini berusaha untuk mencari pengetahuan dengan cara menyingkirkan Allah dan memberikan ruang yang luas bagi manusia untuk menentukan pengetahuan melalui pengalaman mereka tanpa melibatkan Allah. Menurut Cornelius, pribadi yang terbatas harus bercermin kepada pribadi yang Absolut (Allah) sebagai polanya, pribadi yang terbatas tidak tidak dapat menentukan pengertian yang ideal yang absolute bagi dirinya sendiri (Berkhof & Van Till, 2004, hal. 70). Jadi tidak mungkin manusia yang terbatas mendapatkan pengetahuan yang benar tanpa Allah. Harus ada kebenaran absolut yang benar menjadi dasar pengetahuan agar dapat diukur sejauh mana  pengetahuan yang diperoleh manusia itu benar. Sebab jika tidak ada kebenaran yang absolut maka segala sesuatu yang ada di dunia ini relatif dan  tidak ada akhirnya, sehingga akan menimbulkan keragu-raguaan.
Dari pandangan iman  Kristen, konsep dari teori John Dewey tentang guru sebagai fasilitator adalah kurang lengkap. Guru tidak hanya semata-mata memfasilitasi siswa untuk menemukan pemahaman. Guru juga harus membimbing serta mengarahkan siswa dalam belajar. Artinya siswa tidak hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimana ia berada melalui pendidikan karena hal ini sangat subjektif, tidak berdasarkan kebenaran yang absolut. Mengarahkan berarti guru memfasilitasi pembelajaran dengan mendasarkan setiap pembelajaran pada nilai-nilai iman yang benar, bukan pada nilai-nilai masyarakat dimana siswa berada. Menurut Harro Van Brummelan dalam bukunya “walking with God in the classroom”, Tuhan memanggil guru untuk memperjelas bahwa ada nilai-nilai pemberian Tuhan yang universal yang menopang pribadi kita dan masyarakat, dan bahwa Tuhan telah memberikan kepada kita dunia yang teratur (Brummelen, 2009, hl. 34). Jadi jelas bahwa siswa dididik dan diarahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang nilai-nilainya subjektif tergantung dari apa karakter masyarakat tersebut. Jadi nilai kebenaran yang tertinggi menurut Dewey adalah nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, jika masyarakat itu berbeda dari suatu tempat dengan tempat lain, maka kebutuhan dan nilai-nilai yang dipegang juga berbeda. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat di suatu tempat belum tentu dianggap benar oleh masyarakat yang ada di tempat lain. Hal ini membuktikan bahwa kebenaran adalah subjektif menurut John Dewey. Sedangkan iman Kristen tidak demikian, iman Kristen menganut satu kebenaran yang absolut yaitu kebenaran yang berasal dari Allah. 


 
Referensi :
Berkhof, L., & Van Till, C. (2004). Foundation of Christian education. Surabaya: Momentum.
Brummelen, V. (2009). Walking with God in the classroom. Tangerang: Universitas Pelita Harapan Press.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY DALAM DISKUSI MENGENAI ALLAH

Dalam Filsafat pragmatisme John Dewey, Tuhan adalah suatu kekuatan yang menghubungkan antara kenyataan hidup manusia dengan keinginannya.  Dalam buku Agama Pragmatis: Telaah dan Konsepsi agama John Dewey oleh Haniah, kenyataan dan keinginan tersebut disebut sebagai hal-hal faktual dan ideal, atau realisasi dan imajinatif manusia yang didalamnya termasuk juga semua kekuatan di dunia dengan keadaan alam. Menurutnya,  manusia tidak diciptakan dengan kenyataan dimana kondisi mereka  yang sudah sesuai dengan cita-cita mereka. Juga tidak dalam keadaan dimana mereka hanya memiliki fantasi ideal. Melainkan ada kekuatan yang menyatukan kedua hal tersebut, dan itulah Tuhan. John Dewey memberi batasan atas kerangka berpikirnya mengenai Tuhan. Menurutnya penyatuan antara ideal dan aktual tidak dapat terjadi secara mistis, meskipun ini bisa menjadi kemungkinan ideal. Mengapa disebut sebagai keadaan yang terjadi tanpa hal mistis? Karena kesatuan ideal dan aktual dapat terjadi menurutnya semata-mata hanya karena usaha manusia dalam disiplin jiwa. Jadi kesatuan ini berjalan secara natural dan moral dalam pengalaman hidup manusia.
Dari bahasan di atas ini dapat dikatakan bahwa Tuhan itu tidaklah nyata akan tetapi juga tidak menyesatkan. Tidak nyata mengacu pada kemunculannya yang hanya dari proyeksi ideal dan imajinasi manusia, dan tidak menyesatkan karena diciptakan oleh fantasi sehingga tidak menyesatkan karena untuk melayani tujuan idealisasi harapan dan keinginan manusia. Lebih lanjut lagi, Dewey mendefinisikan nilai keagamaan serta kaidah moral dan etika sebagai hal yang berjalan seperti relatifitas kebenaran. Ketiga hal ini, bersama kebenaran sangat tergantung pada pengalaman manusia dan metode yang dipakai. Sama sekali tidak disebutkan bahwa Dewey mengakui adanya pewahyuan dari Tuhan ataupun pemberian sebuah nilai kepada menusia untuk diterima secara dan dilaksanakan dengan patuh. Melainkan kesemuanya muncul dari kesepakatan atau hasil diskusi semata dan melalui pembuktian empiris seperti yang dilakukan dalam pembuktian ilmu pengetahuan. Manusia bebas dan tidak harus terikat dengan nilai dogma yang ada. Manusia bebas berarti manusia hidup secara demokratis untuk menentukan apapun dalam hidup mereka.
Atheis Militan dan Supranaturalisme memiliki konsep ketuhanan yang hampir sama dengan Pragmatisme yaitu membahas mengenai manusia yang terisolasi. Menurut paham Supranaturalisme, bumi adalah pusta moral yang universal dan manusia adalah puncak seluruh skema benda-benda. Supranaturalisme juga menganggap kejatuhan manusia dalam dosa dan pengampunan sebagai drama yang penting bagi kehidupan manusia sementara alam sendiri tidak mengalami pengampunan itu jadi dianggap  sebagai bagian yang terkutuk. Menurut Atheis Militan, Tuhan berarti kesatuan ideal dan aktual yang membebaskan manusial dari rasa isolasi yang disebabkan oleh kebencian anatara dunia dengan diri mereka sendiri. Dewey melihat Militan terlalu selektif dalam mendefinisikan hubungan manusia dengan alam. Menurutnya ada hubungan manusia yang tidak bersahabat dengan alam, yang mampu memunculkan kekuatan yang tidak benar dan menghasilkan perselisihan. Jadi yang bersifat ‘ilahi’ dalam kacamata Militan menurut dewey bersifat pilihan dan aspirasi manusia. Mengenai Supranaturalisme, Dewey menilai bahwa konsep agama yang dimilikinya muncul atas dasar keadaan pedih krisis dalam agama. Sehingga hanya akan berkutat pada estimasi kemungkinan yang belum tentu dapat terealisasikan. Juga menempatkan agama sebagai organisasi yang hanya mengurusi individual dan memberi batasan antara religious dengan yang sekuler, sedangkan menurut Dewey agama harus bergerak dalam bidan sosial mengurusi manusia. Agama harus bersifat sekuler dalam dunia ini.
Konsep pragmatisme yang menekankan pada keberartian sebuah makna yang tergantung dari apa yang dapat dilakukan adalah konsep yang menjadi pegangan John Dewey. Melalui cara pandang ini, Dewey melihat bahwa pengalaman manusia adalah unsur tertinggi yang menjadi dasar atas semua yang memiliki arti di dunia ini. Selain itu, Dewey percaya bahwa hidup tidak memiliki tujuan akhir, oleh karena itu tindakan manusia untuk menjadi orang penting harus melalui kerjasama/hubungan sosial dengan orang lain. Sehingga Tuhan tidak memiliki andil dalam memberikan pernyataan, karena yang melakukan hal tersebut adalah hubungan sosial manusia yang demokratis. Karena John yakin bahwa manusia akan terus-menerus berkembang untuk menjadi lebih baik, dan semua hal yang ada di dunia ini akan terus berkembang tanpa terkecuali. Namun jika hal ini dibenarkan, maka yang akan terjadi adalah pernyataan yang dikeluarkan hasil dari demokrasi, akan terus mengalami pergeseran (teori lama akan digeser teori baru yang lebih benar/diterima bagi masyarakat luas), dan kebenaran akan menjadi hal yang tidak absolut karena berdasarkan pada pengalaman manusia yang terus berkembang.
Hal yang mengejutkan dari pendapat John Dewey adalah agama yang selama ini menjadi keyakinan seseorang dalam menyembah Tuhan, merupakan pengalaman emosi belaka yang membuat manusia memiliki rasa nyaman dan bebas dari kekawatiran. Baginya, agama bukanlah sarana yang dapat membentuk pengalaman spiritual, melainkan dari perkembangan diri melalui bakat yang direalisasikan kepada masyarakat yang demokratis, sehingga tidak lagi diperlukan pelayanan gereja. Melalui hal ini maka dapat dikatakan bahwa agama seharusnya bersifat demokratis dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan untuk memperoleh nilai dan kebenaran yang baru.
Hal lain yang perlu dikoreksi dari filsafat John dewey adalah pendapatnya mengenai Tuhan. Dewey menganggap bahwa yang menjadi tuhan dalam kehidupan manusia adalah pengetahuan ideal dan astual. Jika dilihat dari kacamata dunia, maka hal ini membuat manusia berusaha untuk mendapatkan posisi tersebut dan akan terus mengembangkan diri mereka sampai mereka menemukan titik dimana pengetahuan ideal dan aktual dapat mereka raih, dengan kata lain merekalah yang menjadi tuhan itu sendiri. Namun jika dilihat dari kacamata Kekristenan, maka hal tersebut merupakan kesalahan yang sangat besar karena bukan manusia yang menentukan alur kehidupan dan pengetahuan, tetapi Tuhan yang mengatur semuanya. Keberadaan Tuhan bersifat mutlak, baik itu dalam kebenaran, pengetahuan, dan hal lainnya. Satu hal yang perlu juga diingat adalah, Tuhan bukan sebuah objek yang dapat dicapai oleh manusia, tetapi Tuhan merupakan sosok pribadi yang harus disembah dan sumber dimana manusia meminta hikmat dalam melakukan berbagai hal termasuk dalam pengetahuan. Dengan kata lain, filsafat yang dilontarkan oleh John Dewey merupakan kekeliruan yang harus diluruskan, karena mengingat filsafat yang dikemukankan oleh Dewey telah membawa pengaruh besar didunia ini, terlebih lagi dalam dunia pendidikan.