Minggu, 28 November 2010

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY MENGENAI ETIKA

John Dewey dikenal sebagai seorang filsafat. John Dewey mewarnai gagasannya secara konstruktif dan dinamis melalui fenomena-fenomena hidup dan maknanya yang dituangkan dalam berbagai konsepsi filosofis, yang memiliki relevansi kental dengan situasi saat ini. Dewey memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan.
Dalam hal etika, John dewey terkenal dengan konsep pragmatisme. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pemikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingungkan dan tidak jelas, b) situasi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey,  teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.  Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjembatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertentangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya. Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan intrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Secara teoretis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce, meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James. Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.

John dewey merupakan salah seorang filsuf yang mengambil peran dalam beberapa bidang kehidupan termasuk etika. Pandangan yang terkenal dari filsuf ini adalah tentang teori pragmatisme. Secara sepintas lalu teori ini memiliki kebenaran yang sejalan dengan apa yang dikatakan oleh alkitab yaitu tentang wahyu umum. Wahyu umum disini adalah bagaimana seseorang mempercayai sesuatu berdasarkan pengalaman yang dialaminya dan alampun mengambil peran disini serta menunjukkan pemahaman yang baru kepada manusia. Titik berat dari teori ini adalah bagaimana pengalaman mengambil perannya dalam kehidupan manusia. Sayapun menyetujui bahwa pengalaman mengambil peranan dalam pemahaman yang baru bagi setiap manusia tetapi bukan hal yang terutama dalam kehidupan seseorang.
Setiap pengalaman yang dialami manusia mempengaruhi etika manusia itu terhadap sesuatu. Hal yang menjadi sorotan dalam kata pengalaman disini adalah pengalaman yang seperti apa yang menjadi tolak ukur tentang pemahaman yang baru? bagaimana jika pengalaman yang didapat oleh manusia itu adalah pengalaman yang buruk sehingga membentuk pola pikir dan pola perilaku defensif terhadap lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya pola tingkah laku dan etika seseorang juga berdasarkan pengalaman yang didapat. Alkitab mengajarkan sesuatu hal yang baru tentang pengalaman yang kita dapatkan saat bersinggungan dengan lingkungan sekitar yaitu dalam Matius 5:38-44. Dalam ayat-ayat ini memberikan pemahaman bahwa, pengalaman buruk yang dialami tidak membawa kita kepada sebuah penyelesaian yang buruk tapi harus dengan penyelesaian yang 1800 berbeda.
Terdapat banyak sekali pengalaman yang dapat membentuk pemahaman baru dalam kehidupan kita. Sama seperti yang dikatakan oleh Dewey, pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkunganpun bercorak dinamis. Tolak ukur disini hanya tentang pengalaman saat bersinggungan dengan lingkungan sekitarnya. Tolak ukur ini bukan sebuah hal yang valid karena sebagai seorang percaya kita tahu bahwa pengalaman yang valid adalah dalam Yesus Kristus. Dia mengajarkan banyak hal yang kontroversial tentang etika, dimana mengubah pola pandang kita tentang pengalaman. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang Matius 5:38-44, Yesus tidak lagi menggunakan pengalaman manusia untuk membalaskan setimpal dengan perbuatan yang diterima melainkan dengan kasih. Dia tidak menunjukkannya hanya dengan perkataan yang logis dan praktis tapi dalam tindakan nyata. Bagaimana saat Dia bersinggungan dengan lingkungan sekitar, Dia menunjukkan bahwa kasih merupakan pengalaman yang pantas untuk dijalankan. Sisi pengalaman yang kita dapatkan haruslah sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Pemahaman yang baru tidak boleh melenceng dari apa yang telah disaksikan dalam Alkitab, karena saat melenceng berarti ada hal yang salah dari apa yang telah kita alami. Pengalaman dan pemahaman baru yang kita dapatkan harus berujung pada meninggikan dan mengagungkan nama Tuhan, hal ini sesuai dengan Matius 5:16. Etika kita mungkin ditentukan oleh pengalaman yang dialami tapi berjalanlah bersama Yesus Kristus karena Dialah kebenaran itu sendiri (Yohanes 15:5) yang akan membawa kita melihat dengan jelas etika itu apa serta pada pengalaman dan pemahaman yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar