Minggu, 28 November 2010

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY MENGENAI NATUR MANUSIA

Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyarakat yang ada di sekitarnya.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, nilai suatu hal tidak dapat ditentukan begitu saja oleh manusia. Apalagi jika kita berbicara mengenai nilai dalam diri manusia. Manusia tidak memiliki dasar atau standar yang benar untuk memberikan penilaian tertentu kepada manusia lainnya. Hal ini disebabkan karena keadaan manusia yang telah berdosa (Roma 3:23). Sejak manusia jatuh dalam dosa, segala aspek dalam diri manusia telah terdistorsi oleh dosa termasuk standar nilai itu. Standar nilai yang ditentukan oleh manusia tidak lagi mewakili standar nilai yang dikehendaki Allah. Segala tindakan yang dilakukan manusia semata-mata adalah berdasarkan standar yang ditentukan oleh dirinya itu sendiri. Itulah sebabnya penilaian yang diberikan oleh seorang manusia tentunya akan berbeda dengan manusia lainnya.
Setelah kejatuhan Adam, manusia mengalami perubahan natur menjadi orang yang berada dalam keadaan rusak total. Artinya, semua yang dilakukannya mempunyai kecenderungan untuk berdosa. Kerusakan total disini bukan berarti bahwa natur manusia telah rusak serusak-rusaknya. Kerusakan ini menyatakan dirinya sebagai ketidakmampuan spiritual untuk taat kepada Tuhan dan segala hukum-hukumNya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.
Disini terlihat sangat jelas pokok pemikiran Dewey mengenai penyebab kejahatan dan bagaimana kejahatan itu dapat diatasi. Dewey sama sekali tidak menyinggung mengenai natur keberdosaan dalam diri manusia yang telah ada sejak peristiwa kejatuhan. Dewey juga tidak menyinggung sama sekali bagaimana kejahatan seorang manusia dapat berubah.
Di dalam sejarah Alkitab, kejahatan manusia merupakan salah satu akibat dari kutukan Allah atas kejatuhan manusia. Setelah manusia pertama diusir Tuhan Allah dari Taman Eden, sejarah mencatat bahwa tingkah laku manusia sejak pengusiran tersebut menjadi semakin jahat dari hari ke hari. Beberapa contohnya antara lain, peristiwa pembunuhan Habel oleh Kain, perbuatan manusia yang sangat jahat sehingga Allah harus membasmi manusia dari muka bumi melalui peristiwa air bah dan hanya menyisakan Nuh dan keluarganya untuk meneruskan mandat budaya, kejahatan kota Sodom dan Gomora, dan masih banyak kejahatan manusia yang lainnya.
Jika kita tarik ke belakang, penyebab dari segala kejahatan tersebut hanyalah satu yaitu dosa (Kej. 3). Kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam berpikir dan bereaksi yang tidak normal, yang oleh Dewey dikatakan sebagai penyebab timbulnya kejahatan (evil) manusia juga adalah akibat dari dosa itu. Ini yang tidak disadari olehnya sehingga Dewey berkesimpulan bahwa satu-satunya syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan itu adalah dengan mengubah kebiasaan berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran dari masyarakat.
Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa manusia harus selalu sadar akan dosa dan melihat dosa sebagai suatu kegagalan manusia memenuhi kehendak Allah. Dosa yang demikian hanya akan melahirkan kejahatan dalam diri manusia dan membawa manusia kepada kematian. Tuhan Yesus didalam Alkitab mengatakan bahwa kejahatan hanya dapat diatasi dengan cara membereskan dosa itu terlebih dahulu. Karena ketidakmampuan manusia untuk melakukan itu, maka Allah di dalam Yesus Kristus telah melakukannya untuk manusia. Kristus telah mati untuk membereskan dosa tersebut. Maka, satu-satunya syarat mutlak bagi manusia untuk merubah kejahatan itu adalah manusia harus dilahirbarukan di dalam Kristus (Yoh. 3), dan bukan dengan jalan merubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti yang dikatakan oleh Dewey.. Manusia harus mengalami kelahiran kembali untuk bisa merubah kejahatan itu. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh manusia melalui jamahan kuasa Roh Kudus. Tanpa itu semua, manusia tidak mungkin dapat lahir baru. Bagaimana manusia yakin akan hal itu? Allah sendiri yang telah memberikan janji itu.
Kelahiran kembali ini menjadi sebuah keharusan bagi orang yang mengaku percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat sebagai perwujudan dari imannya kepada Kristus. Allah telah berjanji bahwasanya siapa yang menerima Kristus dan mengakui-Nya sebagai satu-satunya jalan, ia akan diselamatkan. Louis Berkhof menulis bahwa janji Allah yang utama, yang mencakup semua janji yang lain yaitu firman yang senantiasa diulang, “Supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (Kej. 17:7).
Janji Allah ini mencakup semua janji yang lain. Artinya, ketika janji ini terpenuh yaitu bahwa Tuhan menjadi Allah kita, maka janji yang lain akan mengikuti yaitu janji mengenai berbagai berkat rohani (bukan materi) selama hidup dalam dunia, janji pembenaran, termasuk pengangkatan sebagai anak dan kehidupan yang kekal, janji Roh Kudus bagi pelaksanaan yang penuh dan cuma-cuma atas karya penebusan, dan janji pemuliaan akhir dalam suatu hidup yang tidak pernah berakhir (band. Ayub 19:25-27).
Tanggapan dan respon dari manusia atas janji-janji Allah tersebut (kami hanya akan membahas dalam area janji pembenaran Allah kepada pengampunan dosa) adalah dengan cara beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Dengan sungguh beriman kepada-Nya sepanjang waktu dan penyerahan hidup yang taat kepada kepada Allah, yang berarti menjadi manusia baru yang telah mengalami kelahiran baru, manusia dapat mengatasi segala kejahatan yang berakar dari dosa.
Jadi, pandangan John Dewey yang mengatakan bahwa syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran, masih terlalu dangkal dan tidak Alkitabiah. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang peranan mutlak Roh Kudus. Ia tidak mampu melihat fakta ini. Dewey seolah-olah ingin menekankan kemampuan dan kehebatan manusia yang mampu mengatasi persoalannya sendiri. (Risno Harry Ullal & Santi Atma Theresa)


Referensi
Berkhof, Louis. 1994. Teologi Sistematika. Doktrin Manusia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia
Matakupan, T.J., & Kristano, J. 2005 Antropologi dan Hamartologi. Doktrin Manusia dan Dosa. Surabaya: Momentum
Paulinus A.S. Kalkoy, P.A.S. 2010. Pragmatisme John Dewey. Retrieved on November 26, 2010 from http://leonardoansis.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar