Minggu, 28 November 2010

KRITIK TERHADAP PANDANGAN JOHN DEWEY MENGENAI THEORY OF KNOWLEDGE

Filsafat yang dianut oleh John dewey mengajarkan bahwa kehidupan manusia berkembang melalui proses yang telah dilalui oleh manusia. Proses tersebut dimulai dari tingkat terendah dan akan berkembang maju. Kehidupan tidak bersifat tetap melainkan terus berkembang. Bahkan menurutnya dunia ini belum selesai diciptakan, segala sesuatu masih terus berkembang, seperti ilmu pengetahuan yang terus berkembang dari hari ke hari, setiap teori yang muncul akan menggantikan teori yang sebelumnya, demikian seterusnya segala sesuatu akan terus berkembang dan tidak ada batasnya.
  Pengalaman merupakan kunci dari filsafat yang diajarkan oleh John Dewey. Menurut Dewey pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang saling mempengaruhi antar mahkluk hidup secara fisik maupun sosial. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berpangkal pada pengalaman-pengalaman yang telah mereka alami. Untuk menyusun pengalaman-pengalaman tersebut, maka diperlukan pendidikan yang dapat membantu untuk mengarahkan dan membimbing dari pengalaman yang tidak menentu menjadi terarah. Jadi menurutnya pengetahuan yang bersifat metafisik tidaklah bermanfaat.  Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman dan menyelidiki serta mengelola pengalaman tersebut secara aktif dan kritis.
Mengenai konsep demokrasi di dalam dunia pendidikan, Dewey berpendapat bahwa setiap siswa harus diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Siswa tidak hanya menerima apa yang diberikan oleh guru saja, akan tetapi mereka juga belajar untuk mencari pengetahuan tersebut berdasarkan pengalaman mereka. Oleh karena itu guru juga harus  memberikan suasana kelas yang membuat siswa untuk dapat berpikir kritis dan mampu mengarahkan setiap pengalaman yang dimiliki oleh individu. Dengan demikian tercapailah apa yang dimaksud John Dewey tentang arti pendidikan yaitu pembentukan ulang pengalaman yang menambah maknanya dan yang menambah kemampuan si pelajar dalam memberi arah terhadap pengalaman yang selanjutnya. Dewey sangat menganggap penting pendidikan, karena ia percaya bahwa melalui pendidikan akan tercipta masyarakat yang bersifat demokrasi yang mampu menghargai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap individu.
Dalam hal tujuannya, pendidikan harus didasarkan pada lingkungan masyarakat di mana anak didik hidup dan tempat di mana pendidikan berlangsung. Tujuan yang ditetapkan haruslah khusus, tidak berlaku secara universal, dan temporer, karena tidak ada kebenaran dan nilai yang mutlak dan berlaku secara universal. Tujuan pendidikan adalah sebagai instrumen untuk bertindak, yang hasilnya akan menjadi instrument untuk pencapaian tujuan berikutnya dan dijadikan sebagai alat untuk bertumbuh.
John Dewey memiliki dua tujuan penting yang harus diperhatikan dalam menjalankan pendidikan. Pertama, upaya untuk membedakan hasil-hasil (results) dan tahap akhir (end). Tahap akhir adalah hasil dari langkah-langkah yang berkesinambungan dan teratur yang diambil secara cerdas, bukan dari kegiatan yang dilaksanakan pada tahap awal. Kedua, terdapat tiga langkah untuk mencapai tujuan dalam pendidikan, yaitu: 1) mengidentifikasi faktor-faktor penghalang bagi para pelajar yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan, dan bersamaan dengan itu, harus diperhatikan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud; 2) merumuskan urutan pemanfaatan sarana yang ada; 3) mempertimbangkan kegunaan dari semua sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Dalam dunia pendidikan saat ini, konsep pemikiran tentang John Dewey masih memiliki pengaruh yang besar. Konsep Active-learner adalah konsep yang dimunculkan oleh Dewey yang menunjukkan bahwa setiap anak didik memiliki kemampuan untuk bertumbuh dengan memberdayakan seluruh potensi yang mereka mereka miliki melalui pendidikan yang mereka dijalani.
Di Indonesia, konsep active-learner dikenal dengan pendidikan partisipatif, yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses pendidikan. Dengan pola ini, siswa dipacu untuk terlibat secara aktif untuk dapat mengembangkan seluruh sumber daya yang dimiliknya. Siswa tidak hanya diam, mendengar, dan mencontoh guru, sedangkan guru haruslah menjadi fasilitator dan memotivasi siswa untuk berdialog dan berekspresi.
Kritik terhadap pandangan pendidikan John Dewey  menurut sudut pandang Kristiani.
            Dikatakan bahwa filsafat pragmatisme memiliki pandangan evolusioner, yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini masih dalam proses perkembangan. Pragmatisme mengganggap bahwa tidak ada sesuatu apapun yang benar-benar absolute, semuanya relatif. Tetapi jika kita lihat dari sudut pandang iman Kristen, maka pendapat tersebut tidak sesuai, karena dengan jelas di kitab Kejadian, menjelaskan tentang penciptaan dunia dari hari pertama sampai hari ke enam, dan semuanya itu telah selesai diciptakan oleh Allah (Kej. 1: 1-31). Bagi Dewey pengalaman merupakan kunci dari pengetahuan. Pengetahuan yang ada di dunia ini terlalu sempit jika Allah ada di belakangnnya, jadi pemikiran ini berusaha untuk mencari pengetahuan dengan cara menyingkirkan Allah dan memberikan ruang yang luas bagi manusia untuk menentukan pengetahuan melalui pengalaman mereka tanpa melibatkan Allah. Menurut Cornelius, pribadi yang terbatas harus bercermin kepada pribadi yang Absolut (Allah) sebagai polanya, pribadi yang terbatas tidak tidak dapat menentukan pengertian yang ideal yang absolute bagi dirinya sendiri (Berkhof & Van Till, 2004, hal. 70). Jadi tidak mungkin manusia yang terbatas mendapatkan pengetahuan yang benar tanpa Allah. Harus ada kebenaran absolut yang benar menjadi dasar pengetahuan agar dapat diukur sejauh mana  pengetahuan yang diperoleh manusia itu benar. Sebab jika tidak ada kebenaran yang absolut maka segala sesuatu yang ada di dunia ini relatif dan  tidak ada akhirnya, sehingga akan menimbulkan keragu-raguaan.
Dari pandangan iman  Kristen, konsep dari teori John Dewey tentang guru sebagai fasilitator adalah kurang lengkap. Guru tidak hanya semata-mata memfasilitasi siswa untuk menemukan pemahaman. Guru juga harus membimbing serta mengarahkan siswa dalam belajar. Artinya siswa tidak hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimana ia berada melalui pendidikan karena hal ini sangat subjektif, tidak berdasarkan kebenaran yang absolut. Mengarahkan berarti guru memfasilitasi pembelajaran dengan mendasarkan setiap pembelajaran pada nilai-nilai iman yang benar, bukan pada nilai-nilai masyarakat dimana siswa berada. Menurut Harro Van Brummelan dalam bukunya “walking with God in the classroom”, Tuhan memanggil guru untuk memperjelas bahwa ada nilai-nilai pemberian Tuhan yang universal yang menopang pribadi kita dan masyarakat, dan bahwa Tuhan telah memberikan kepada kita dunia yang teratur (Brummelen, 2009, hl. 34). Jadi jelas bahwa siswa dididik dan diarahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang nilai-nilainya subjektif tergantung dari apa karakter masyarakat tersebut. Jadi nilai kebenaran yang tertinggi menurut Dewey adalah nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, jika masyarakat itu berbeda dari suatu tempat dengan tempat lain, maka kebutuhan dan nilai-nilai yang dipegang juga berbeda. Apa yang dianggap benar oleh suatu masyarakat di suatu tempat belum tentu dianggap benar oleh masyarakat yang ada di tempat lain. Hal ini membuktikan bahwa kebenaran adalah subjektif menurut John Dewey. Sedangkan iman Kristen tidak demikian, iman Kristen menganut satu kebenaran yang absolut yaitu kebenaran yang berasal dari Allah. 


 
Referensi :
Berkhof, L., & Van Till, C. (2004). Foundation of Christian education. Surabaya: Momentum.
Brummelen, V. (2009). Walking with God in the classroom. Tangerang: Universitas Pelita Harapan Press.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar